
Bandung kota yang dikenal dengan udara sejuk dan suasana ramah, kini terusik oleh kabar penganiyaan tak menyenangkan. Seorang pria bernama Fikry menjadi sorotan setelah aksi keji yang dilakukannya terhadap sang istri terungkap ke publik. Ia bukan hanya kehilangan kontrol, tapi juga kehilangan moral. Ia menganiaya perempuan yang semestinya ia jaga dan hormati sebagai pasangan hidup.
Tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) seperti ini memang bukan hal baru, tapi tetap saja menyakitkan untuk disaksikan. Sebab yang menjadi korban bukan hanya tubuh fisik, melainkan juga batin, martabat, dan bahkan masa depan seorang manusia. Artikel publik.one membahas tentang kronologi Fikry, seorang pria asal Bandung yang dengan keji menganiya sang istri.
Kronologi: Dari Penganiyaan hingga Penjara
Kejadian penganiayaan ini mencuat setelah korban melaporkan perbuatan Fikry ke pihak berwajib. Tindakannya bukan hanya satu kali, tapi sudah melibatkan rangkaian kekerasan yang terakumulasi. Dengan bukti yang cukup dan kesaksian korban, aparat kepolisian akhirnya menetapkan Fikry sebagai tersangka dan langsung menahannya.
Saat ini, proses hukum sedang berjalan. Fikry terancam terjerat dengan pasal dalam Undang-Undang Penghapusan KDRT dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara. Namun yang lebih penting dari hukuman adalah pertanyaan: apakah korban sudah benar-benar aman? Apakah ia mendapat pendampingan, perlindungan, dan pemulihan yang layak?
KDRT: Luka yang Tak Selalu Terlihat
Sering kali, luka akibat KDRT bukan hanya memar yang terlihat di kulit. Justru luka yang paling dalam adalah yang tersembunyi rasa takut, trauma, dan hilangnya kepercayaan diri. Sayangnya, tak semua korban berani berbicara. Budaya “aib keluarga” membuat banyak perempuan memilih diam. Padahal diam bisa jadi jalan bagi kekerasan untuk terus terjadi.
Inilah mengapa penting bagi kita sebagai masyarakat untuk terus membangun ruang aman—baik untuk berbicara, meminta tolong, maupun mendapatkan keadilan.
Opini: Penganiyaan Bukan Cinta, dan Emosi Bukan Alasan
Ada kalimat klasik yang sering jadi tameng pelaku: “Aku khilaf,” atau “aku sedang emosi.” Tapi kekerasan tidak pernah bisa benarkan dengan alasan apa pun. Cinta bukan berarti memiliki hak untuk menyakiti. Emosi bisa termanage dengan baik, tapi kekerasan adalah pilihan. Dan pilihan itu harus pertanggungjawabkan.
Jika ada konflik dalam rumah tangga, seharusnya terselesaikan lewat komunikasi, bukan dengan tangan, bukan dengan bentakan, apalagi penganiayaan.
Saatnya Berpihak pada Korban Penganiyaan
Kasus Fikry hanyalah satu dari sekian banyak kasus KDRT yang mungkin terjadi di sekitar kita dan sebagian besar bahkan tidak pernah muncul ke permukaan. Maka, penting untuk terus bersuara. KDRT bukan isu privat, ini isu sosial. Korban bukan aib, mereka adalah orang yang berani bertahan dan melawan ketidakadilan.
Kita semua punya peran baik sebagai individu, masyarakat, maupun lembaga. Mari kita ciptakan lingkungan yang berpihak pada korban, bukan pada pelaku. Karena rumah seharusnya menjadi tempat untuk pulang, bukan tempat untuk bersembunyi dari rasa takut.