
Publik.one Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih menunjukkan potensi untuk melanjutkan tren penguatan pada perdagangan Jumat, 2 Mei 2025. IHSG tercatat naik 0,72% ke level 6.815,73, dengan 315 saham menguat, 306 saham melemah, dan 187 saham stagnan.
Total nilai transaksi yang tercatat mencapai Rp 11,87 triliun, dengan volume perdagangan mencapai 20,13 miliar saham dalam 1,18 juta transaksi. Kapitalisasi pasar turut meningkat menjadi Rp 11.869,68 triliun.
Dengan di tutupnya IHSG di zona positif hari ini, secara mingguan indeks tersebut mencatat kenaikan 3,06%. Meskipun lebih rendah di bandingkan minggu sebelumnya yang tumbuh 3,74%.
Berdasarkan data Refinitiv, hampir seluruh sektor mengalami kenaikan. Sektor bahan baku memimpin dengan kenaikan 3,35%, di ikuti sektor properti naik 2,02%. Sektor keuangan menguat 1,03%, dan utilitas tumbuh 0,96%. Hanya sektor kesehatan (-0,57%) dan konsumer primer (-0,66%) yang mencatat pelemahan.
Saham Chandra Asri (TPIA) menjadi penopang utama IHSG dengan kontribusi 17,49 poin. Di susul saham perbankan BBCA (10,24 poin) dan BMRI (6,17 poin).
Kinerja positif IHSG hari ini sempat menggugurkan asumsi pasar soal efek musiman “sell in May and go away”. Meski demikian, data historis mencatat IHSG cenderung melemah di bulan Mei selama satu dekade terakhir, kecuali pada tahun 2015 dan 2020.
Menurut analisis CNBC Indonesia Research. Kenaikan signifikan pada bulan Maret dan April 2025 memberi sinyal bahwa IHSG mungkin akan mengalami fase koreksi atau konsolidasi di bulan Mei. Terutama dengan munculnya sentimen global yang kurang menguntungkan bagi pasar saham.
Dari sisi eksternal, ekonomi Amerika Serikat tercatat mengalami kontraksi pada kuartal pertama 2025. Seiring lonjakan impor sebagai dampak awal kebijakan tarif dagang Presiden Donald Trump di masa jabatan keduanya. Produk Domestik Bruto (PDB) AS turun 0,3% secara tahunan, menandai kuartal negatif pertama sejak awal 2022.
Para ekonom yang sebelumnya memperkirakan pertumbuhan 0,4% justru merevisi proyeksi mereka menjadi negatif. Akibat lonjakan impor yang tak terduga serta melemahnya belanja konsumen dan penurunan anggaran federal.
Laporan PDB ini menimbulkan dilema bagi The Federal Reserve menjelang rapat kebijakan minggu depan—antara mempertimbangkan penurunan suku bunga untuk merespons pertumbuhan negatif, atau menahan langkah tersebut karena tekanan inflasi yang masih tinggi.